Bandar Lampung (ISN) – Instruksi Presiden Prabowo Subianto kepada Kementerian Perhubungan agar membuka sebanyak-banyaknya rute dan bandara internasional ke berbagai daerah merupakan sinyal politik dan ekonomi yang kuat.
Dalam konteks pemulihan pariwisata pasca-pandemi dan upaya pemerataan pembangunan, kebijakan ini berpotensi mempercepat aliran devisa, memperkuat rantai nilai lokal, dan membuka lapangan kerja — asalkan diikuti perencanaan teknis yang rapi dan kebijakan penguatan kapasitas daerah. (Instruksi ini dilaporkan disampaikan pada awal Agustus 2025.)
*Mengapa langsung membuka banyak pintu internasional penting?*
Ada dua alasan besar yang mendasari logika ekonominya. Pertama, akses langsung dari pasar luar negeri memang menurunkan biaya perjalanan wisatawan dan membuat destinasi regional lebih kompetitif — wisatawan tidak perlu transit lama di Jakarta, sehingga rute ke Lombok, Danau Toba, Labuan Bajo, Raja Ampat, dan lain-lain menjadi lebih menarik.
Kedua, data makro menunjukkan sektor pariwisata Indonesia sedang pada momentum kebangkitan: lembaga internasional memproyeksikan belanja wisatawan internasional Indonesia mencapai rekor sekitar Rp344 triliun pada 2025, serta kontribusi total sektor Travel & Tourism terhadap perekonomian yang meningkat pesat; setiap tambahan pengeluaran pariwisata juga memberi multiplier pada output dan penyerapan tenaga kerja.
Ini bukan hanya soal jumlah turis, tetapi dampak riil terhadap pendapatan domestik dan lapangan kerja.
Namun perlu diingat: status “bandara internasional” hanya membuka kemungkinan — bukan jaminan arus penumpang.
Untuk menjadi efektif, harus ada sinergi antara otoritas bandara, operator maskapai, otoritas imigrasi dan bea cukai, fasilitas ground handling, serta produktivitas atraksi wisata di daerah.
Tanpa kesiapan layanan dan paket destination management yang baik, risiko inefisiensi dan fasilitas menganggur tetap ada.
*Fakta terbaru: berapa banyak bandara internasional?*
Sebelum arahan presiden (mengacu pada ketetapan Menhub sebelumnya) tercatat jumlah bandara berstatus internasional berada pada level yang jauh lebih kecil.
Dalam pekan setelah instruksi Presiden, Kementerian Perhubungan menetapkan penambahan bertahap: laporan awal menyebut penambahan 5 bandara, kemudian keputusan Menhub (KM 37/2025 dan peraturan terkait) menetapkan hingga puluhan bandara menjadi berstatus internasional — dengan angka yang ramai diberitakan mencapai 36 bandara umum (ditambah beberapa bandara khusus dan satuan UPTD), sehingga total ‘bandara internasional’ bertambah signifikan.
Ini artinya dalam sekejap lanskap status bandara nasional berubah cukup besar. Keputusan resmi terkait daftar bandara tersebut disampaikan oleh Kemenhub dan termuat dalam berita nasional.
*Radin Inten II — kebangkitan pintu Internasional Lampung*
Salah satu kasus yang menarik adalah Bandar Udara Radin Inten II (TKG) di Lampung, yang sebelumnya sempat kehilangan status internasional pada 2024 tetapi pada gelombang penetapan baru ini kembali dicantumkan sebagai bandara berstatus internasional menurut Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 37 Tahun 2025.
Kembalinya Radin Inten II membuka peluang langsung bagi Lampung untuk mengembangkan rute umrah langsung, penerbangan charter/point-to-point ke negara tetangga, serta meningkatkan konektivitas logistik untuk produk pertanian dan perikanan di Lampung.
Namun seperti semua bandara yang “naik kelas”, Radin Inten II harus segera memenuhi persyaratan operasional seperti fasilitas imigrasi, bea cukai, karantina, keselamatan dan keamanan serta kesiapan ground handling agar statusnya bermakna.
*Dampak ekonomi 2025–2030: berapa besar harapannya?*
Menimbang data-data internasional dan local evidence, ada beberapa proyeksi konservatif yang patut dicatat:
1. Peningkatan belanja wisatawan internasional — lembaga riset internasional (WTTC bersama Oxford Economics) memproyeksikan lonjakan belanja asing ke Indonesia menjadi rekor pada 2025 (Rp344 triliun). Jika akses langsung diperluas dan didukung promosi pasar target (Cina, India, Eropa, Timur Tengah), rasionalnya adalah pertumbuhan penerimaan devisa pariwisata dapat berlanjut hingga akhir dekade.
2. Kontribusi terhadap PDB dan lapangan kerja — menurut studi World Bank/WTTC, setiap US$1 juta pengeluaran pariwisata dapat mendukung lebih dari US$1,7 juta output GDP lokal dan ratusan pekerjaan (angka multiplier berbeda antardaerah). Dengan asumsi kenaikan pengeluaran internasional dan alokasi efek ke daerah, sektor travel & tourism diperkirakan menyumbang persentase PDB yang meningkat (WTTC memperkirakan kontribusi Travel & Tourism total mencapai angka yang jauh lebih tinggi pada 2025 dibanding pra-pandemi).
3. Pemerataan ekonomi daerah — pembukaan rute internasional non-Jakarta bisa memicu investasi pariwisata, pengembangan infrastruktur pendukung, dan penyerapan tenaga kerja di sektor jasa, kuliner, transportasi lokal dan UMKM. Ini membantu pemerataan ekonomi bila kebijakan pengelolaan destinasi mengedepankan rantai nilai lokal.
Namun catatan penting: manfaat ini tidak otomatis. Tanpa standar pelayanan, kebijakan harga, manajemen kapasitas lingkungan, dan sinergi antar-kementerian, risiko yang muncul antara lain: volatilitas permintaan, overcapacity bandara tanpa rute komersial, dan tekanan lingkungan pada destinasi rentan.
*Rekomendasi kebijakan (singkat dan operasional)*
1. Skor kelayakan operasional untuk setiap bandara — Kemenhub perlu melanjutkan audit kesiapan (safety, security, services) dilengkapi timeline dan bantuan teknis agar bandara yang ditetapkan benar-benar layak operasional internasional.
2. Insentif rute awal untuk maskapai — skema insentif (slot, biaya landas-parkir, pemasaran bersama) selama 6–12 bulan bisa membantu maskapai meluncurkan layanan baru tanpa risiko komersial berlebih.
3. Paket destinasi terpadu — daerah harus menyiapkan produk wisata, akomodasi, dan konektivitas darat yang solid; tanpa itu, rute internasional akan sepi peminat.
4. Perlindungan lingkungan dan kapasitas — kebijakan kuota atau manajemen pengunjung harus disiapkan untuk destinasi sensitif (terumbu karang, pulau kecil).
5. Pengukuran dampak berkala — monitoring indikator ekonomi lokal (pendapatan UMKM, pekerjaan terserap, pajak daerah) sehingga penetapan status internasional dievaluasi berdasarkan hasil, bukan hanya status administratif.
*Penutup*
Instruksi membuka bandara internasional secara masif adalah langkah berani yang punya potensi besar bagi perekonomian Indonesia 2025–2030.
Namun potensi itu hanya akan berubah menjadi kenyataan bila diikuti kesiapan teknis, strategi pasar, dan pengelolaan destinasi yang berkelanjutan.
Kembalinya Radin Inten II sebagai bandara internasional adalah contoh peluang sekaligus pengingat: keputusan administratif harus segera diterjemahkan ke dalam investasi operasional dan penguatan kapasitas lokal agar manfaat ekonomi benar-benar dirasakan masyarakat Lampung dan daerah lain yang kini membuka pintu ke dunia.
*Mahendra Utama — Pemerhati Pembangunan.